READY FOR READS..

Lelaki Sebelas Tahun (1)

ilustrasi lelaki sebelas tahun - anak dan lilin
Lelaki Sebelas Tahun (ilustrasi)

Berapa lama seorang manusia akan hidup? Tidak ada yang akan pernah tahu. Bagaimana jalan hidup seorang manusia? Juga tak akan ada seorangpun yang tahu. Semua orang hanya mereka-reka. Semua hanya berharap mereka tahu apa yang akan terjadi kesudahannya. Yang orang tahu adalah masa lalu. Dan mengingat masa lalu adalah cara untuk belajar merencanakan masa depan. Sebab masa depan adalah pertaruhan, dan modal kita hanyalah cerita masa yang sudah lepas.

Ini adalah cerita seorang manusia. Cerita ini dipermulakan sepertiga abad yang lalu. Lima tahun berkembang di masa penuh bahagia. Tertawa bersama orang tua. Setahun diantaranya, bahagia itu bertambah dengan hadirnya seorang adik laki-laki. Seorang kawan bermain yang menyenangkan bagi masa kecilnya. Tapi hanya itulah masa kecil yang diingat. Sebab, enam tahun sesudahnya.. laki-laki kecil itu harus pergi meninggalkan buai ibu dan didikan ayah. Demi cita-cita untuk bersekolah, si laki-laki kecil pergi merantau.

"Tak apa aku terpisahkan, asal bisa aku sekolah." Naif, tanpa pikir panjang, dan polos. Laki-laki kecil melangkah menantang dunia. Terbang ia menuju kesendirian. Dijumpainya lubuk kasih sayang baru, ditinggalkannya sumber kasih sayang yang selama ini menyediakan baginya pangkuan dan pelukan hangat kala hari hujan. Tentu bukan sebenar-benarnya pergi, karena ini hanya lubuk tua, tempat muasal dirinya ada.

Lali-laki kecil bertemu keluarga baru. Laki-laki kecil tinggal di rumah baru. Rumah yang selama ini hanya disinggahinya setiap akhir pekan. Kini rumah itu jadi rumahnya jua. Bersama seorang lelaki renta dan istrinya yang juga tua. Seorang saudara sepupu perempuan dan bibi bungsu adik ibunya jadi kawan kesehariannya.

Laki-laki kecil bertemu kawan baru. Baju putih dengan celana merah yang terlalu longgar melekat di tubuhnya. Enam tahun disandangnya tas selempang yang sama. Kadangkala kaki-kaki kecilnya mengantarnya kesekolah dengan terbungkus sepatu, tapi seringnya bertelanjang kaki pergi dia menuntut ilmu.

Dia bukan seorang yang menutup diri, tapi keseharian membuatnya terbiasa bermain sendiri. Kadangkala bersepeda ia bersama teman-temannya, bermain ke tempat-tempat yang jauh. Mandi di sungai, bermain layang-layang, mencari bambu sumpit, dan rupa-rupa permainan anak. Tapi selebihnya, lebih banyak waktunya ia bermain seorang diri. Berlarian dia di halaman rumah kakeknya, mengejar bola karet pemberian bapa. Atau, bila tak hendak ia bermain keluar, setumpuk buku cerita kuno menjadi kawannya. Buku-buku milik sang kakek. Buku yang sudah kuning kertasnya, yang menguarkan bau tua, yang bagian-bagiannya banyak dimakan kutu.

Masih diingatnya, pekan pagi adalah saat yang ditunggu-tunggu. Sebab saat itulah teman masa kecilnya akan datang, bertandang. Juga ibu dan bapanya. Maka, ketika pukul sembilan tiada kabar berita, berlarilah ia menuju gerbang. Berdiri ia di bawah rumpun bunga kandelia. Ditatapnya jalan berdebu di kejauhan. Berharap motor tua datang membawa keluarganya, tersenyum cerah padanya. Senyum yang membuat bahagia yang sama tersungging di bibirnya.

Satu-satunya hal yang diingatnya pernah membuatnya begitu kecewa, ketika ibu bapa dan adik kecilnya tiada datang menjenguknya. Pekan yang ditunggu-tunggu, rencana bermain bola seharian, atau memancing ikan di kolam, pupus sudah. Lelaki kecil cuma bisa terduduk di tangga rumah. Kecewa ia, tapi tak hendak ia meratap. Hanya air mata membayang di pelupuknya. Sebab, lelaki kecil selalu dididik untuk kuat, tegar dan tidak mengeluh. Sebab ia laki-laki. Dan neneknya selalu bilang, lelaki pantang menangis. Apalagi sulung dia. Sebab lelaki yang kerap menangis, kulitnya tipis. Dan lelaki yang kulitnya tipis tak akan bisa jadi pelindung bagi adik-adiknya. Dibiarkannya saja harapan itu luruh bersama luruhnya pucuk kamboja di pojok halaman.

(Selanjutnya)
Share on Google Plus

About Unknown

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment